Rawa
Pening, bukan nama yang asing lagi bagi kita yang tinggal di Jawa
Tengah. Sebuah danau alam yang begitu memikat, bagi penikmat keindahan.
Danau dengan sejuta pesona ini selalu menyuguhkan kehidupan bagi mereka
yang bergantung pada denyut nadinya. Sumber daya alam adalah potensi
luar biasa bagi danau alam ini, tetapi ada keindahan tersembunyi dibalik
hamparan eceng gondok yang menutupi beberapa sisinya.
Sebuah
rel peninggalan Belanda yang menghubungkan stasiun Tuntang dan Ambarawa
seolah membelah Danau ini. Jalur yang membentang dari sisi barat ke
timur ibarat menjadi jalur Sang Surya saat menggeliat hingga mengakhiri
perjalanannya menuju ufuk barat. Saat pagi hari, cahaya hangat menyembul
dari bukit di sisi timur danau dan memberikan cahaya kehidupannya.
Menjelang siang menerangi seluruh permukaan danau dan menunjukan geliat
kehidupan dan keindahan yang ada.
Rawa
yang sering disebut-sebut dalam pelajaran ilmu alam di sekolah ini
merupakan perairan umum yang sangat luas, betapa tidak dengan luas
genangan mencapai 2670 hektar, Rawa Pening adalah genangan air terluas
ke – 6 di Jawa setelah waduk Gajah Mungkur (9000 Ha), Jatiluhur (8300
Ha), Cirata (6200 Ha), Saguling (5200 Ha) dan Kedung Ombo (4600 Ha).
Danau
yang dikelilingi bukit dan 3 Gunung ini memang tak ada habisnya jika
mengikuti jejak Sang Surya. Sumurup sebuah tempat yang tak asing bagi
penikmat fotografi. Sebuah lokasi yang strategis untuk menyaksikan sang
Surya tenggelam disisi barat. Hanya berjarak sekitar 500m dari Jembatan
Tuntang ke arah barat sambil menyusuri rel kereta api.
Lokasi
ini memang hot spot bagi mereka yang ingin menikmati sunset saat senjat
mulai beranjak. Hamparan danau berubah jingga merah saat cahaya temaram
matahari yang hendak masuk keperaduannya. Pantulan cahaya begitu
memikat diiringi dengan Eichornia crasipes yang menari-nari terkena
ombak perahu nelayan. Gunung Merbabu, Telomoyo dan Gajah Mungkur dengan
setia menemani dikala senja itu mulai beranjak.